Nusa Dua - Direktur Institut Habibie Center, Dewi Fortuna Anwar, mengatakan ada dua hal dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang perlu mendapat perhatian khusus karena dinilainya salah kaprah.
»Kemampuan lembaga politik untuk menyerap suara rakyat masih terbatas,” kata Dewi Fortuna dalam acara Lokakarya Bali Democracy Forum dengan tema »Peran Masyarakat Sipil dan Media Sosial dalam Partisipasi Berdemokrasi” di Grand Ballroom Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, Rabu, 7 Desember 2011.
Inilah catatan pertama demokrasi yang salah kaprah. Lembaga politik di Indonesia, menurut Dewi Fortuna, masih dalam tahap awal. Kualitas orang-orang yang duduk di lembaga politik pun masih terbatas. Maka tak mengherankan bila kemampuannya dalam menyerap aspirasi rakyat pun serba terbatas.
Hal kedua yang menjadi catatan adalah lembaga pemerintah yang masih mewarisi budaya birokrasi yang melayani dan menjadi kepanjangan tangan penguasa. »Ini warisan budaya Belanda, para pamong waktu itu melayani Belanda, bukan rakyatnya,” ujar Dewi.
Para pamong yang berkuasa memungut upeti dari rakyat untuk kesejahteraan penguasa. Demikian pula orang-orang yang duduk dalam pemerintahan sekarang. »Memakai uang rakyat dianggap sah-sah saja,” ujarnya.
Lokakarya ini dihadiri para pakar, akademikus, dan sejumlah insan media nasional. »Lokakarya ini diharapkan membuka ruang bagi dialog dan proses diseminasi informasi kepada masyarakat luas mengenai BDF,” kata Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, A.M. Fachir.
NIEKE INDRIETTA
»Kemampuan lembaga politik untuk menyerap suara rakyat masih terbatas,” kata Dewi Fortuna dalam acara Lokakarya Bali Democracy Forum dengan tema »Peran Masyarakat Sipil dan Media Sosial dalam Partisipasi Berdemokrasi” di Grand Ballroom Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, Rabu, 7 Desember 2011.
Inilah catatan pertama demokrasi yang salah kaprah. Lembaga politik di Indonesia, menurut Dewi Fortuna, masih dalam tahap awal. Kualitas orang-orang yang duduk di lembaga politik pun masih terbatas. Maka tak mengherankan bila kemampuannya dalam menyerap aspirasi rakyat pun serba terbatas.
Hal kedua yang menjadi catatan adalah lembaga pemerintah yang masih mewarisi budaya birokrasi yang melayani dan menjadi kepanjangan tangan penguasa. »Ini warisan budaya Belanda, para pamong waktu itu melayani Belanda, bukan rakyatnya,” ujar Dewi.
Para pamong yang berkuasa memungut upeti dari rakyat untuk kesejahteraan penguasa. Demikian pula orang-orang yang duduk dalam pemerintahan sekarang. »Memakai uang rakyat dianggap sah-sah saja,” ujarnya.
Lokakarya ini dihadiri para pakar, akademikus, dan sejumlah insan media nasional. »Lokakarya ini diharapkan membuka ruang bagi dialog dan proses diseminasi informasi kepada masyarakat luas mengenai BDF,” kata Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri, A.M. Fachir.
NIEKE INDRIETTA
Sumber: TEMPO Interaktif