Setiap orang bisa menjadi Wartawan (Citizen Journalist) di lingkungannya. Pastikan informasi disekitar anda termuat di ATJEHbuzz ONLINE dengan mengirimkannya kepada kami melalui e-mail: redaksi.atjehbuzz@gmail.com. Anda juga bisa mengomentari setiap berita yang kami sajikan melalui Facebook Plugin yang terdapat dibagian bawah dari masing-masing berita.

Sunday, January 1, 2012

Zigzag Partai Aceh

Oleh: Aryos Nivada [written in TGJ]

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menggilas harapan Partai Aceh (PA), walaupun kita semua tahu yang menggugat memang bukan PA. Tapi TA Khalid dan Fadhlullah. Sudah menjadi rahasia umum keduanya di dukung PA. Selanjutnya untuk melihat zigzag PA sebagai (strong party) pada pilkada Aceh yang berjalan.

Maka, pasca putusan MK menjadi tolak ukur bahwa akrobatik PA yang menggugat Komisi Independen Pemilihan, walaupun mengatasnamakan institusi Dewan Perwakilan Daerah Aceh (DPRA). Kenyataannya gugatan itu dicabut. Tindakan ini memunculkan tanda tanya besar? Kalau argumentasinya pihak PA hanya sebatas tidak menyakinkan lagi institusi MK.

Logika politik tidak mendasar jika hanya tidak yakin kepada MK. Jika demikian, PA sedang melakukan tindakan lain guna mensukseskan kepentingannya. Di sinilah menariknya mengulas lebih dalam. Sebelum pembatalan gugatan PA (15/12/2011) dengan nomor 180/2827 melalui email ke Makamah Konsitusi (MK). Baru-baru ini sidang gugatan dilanjutkan, walaupun PA sudah mencabut tapi MK tetap melaksanakan.

Selain daripada itu terdapat serangkaian kegiatan yang mendiskusikan situasi politik Aceh. Salah satunya kegiatan workshop yang di adakan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Temanya” Koordinasi dan Konsultasi Evaluasi Pelaksanaan MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh”.

Anehnya lagi, PA berhenti memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Bisa dikatakan gerak zigzag PA seolah-olah dibuat redup. Indikatornya tidak ada lagi demo-demo, tidak ada pertarungan wacana di media antara elit pro dan kontra, tidak ada lagi kriminalitas berbalut politik, dan tidak ada lagi usaha penentangan. Keadaan ini memunculkan tanda tanya bagi saya ada apa dengan PA?

Tak hanya sebatas itu saja, bahkan PA sudah rela menjalankan amanah konstitusi. Apakah sudah menemukan titik temu kesamaan kepentingan. Tidak hanya sebatas rela atau tidak rela. Lebih jauh lagi mengapa partai lokal besar itu, tetap berkeinginan melakukan penundaan lebih lama. Kalau tujuan memperbaiki konsolidasi internal dan eksternal terlalu tidak signifikan menjadi tujuan utamanya.

Lalu, tujuan utamanya ingin membuat lawan politiknya kehabisan energi dari sisi keuangan/finansial. Bagi saya tidak ada keuntungan secara politik, dikarenakan PA tidak berpartisipasi dalam pilkada. Ditambah lagi seluruh proses tahapan pilkada beberapa sudah berjalan mulai pendaftaran, tes baca Al Quran, kesehatan, pendataan pemilih, dan pengambilan nomor urut.

Kecuali manuver zigzag PA mampu mengubah tatanan geopolitik yang sudah berjalan yaitu pilkada. Syarat utama mengubahnya PA harus berhasil melakukan tekanan politik yang kuat. Pendifinisian tekanan politik bisa berupa gerakan aktif menentang, memberikan konsensus yang melebihi kandidat lain serta membangun komunikasi politik kepada elit pusat.  Ibaratnya politik dagang sapi.

Target hasilnya Pemerintah Pusat memperpanjang masa penundaan lebih lama dengan mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu). Pertanyaan kritisnya apa indikator keurgent-an Perpu di keluarkan. Kalau tingkat keamanan berbau politik marak menjadi ukurannya kurang begitu kuat.

Dibuktikan PA berhasil membangun kesepakatan dengan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan dengan Muzakir Manaf sebagai Ketua Partai Aceh.

Tindakan itu menunjukan komunikasi politik mampu memberikan harapan baru. Isi kesepakatan terdiri dari; pertama, Penundaan pemilukada (Pilkada Aceh) sampai dengan diselesaikannya payung hukum atau qanun, kedua, ditunjuknya Pj Gubernur Aceh, dan ketiga menerima putusan MK tentang calon perseorangan dalam pemilukada Aceh.

Aryos Nivada | acstf.org
Walaupun hasil kesepakatan menuai protes keras dari Irwandi Yusuf.  Reaksioner yang ditunjukan Irwandi Yusuf menunjukan ketakutan dirinya akan kalah pada pilkada dengan catatan PA berpartisipasi. Tidak hanya itu, telah terjadi ketidaksejalanan antara Menkopolhukam dengan Kemendagri dalam menyelesaikan permasalahan polemik politik pilkada Aceh yang sedang berjalan. Terlihat jelas komentar di media massa. Bahkan ada pendapat publik tupoksi Mendagri di ambil oleh Menkopolhukam.

Kalau kesepakatan dilaksanakan oleh PA bisa dipastikan PA berpartisipasi dalam pilkada, walaupun tahapan pilkada sudah berjalan. Tentunya dengan konsensus kesepakatan jalan keseluruhannya. Konsekuensi bila ini terbukti, dimana kerugian terbesar adalah negara (Pemerintah Indonesia) yang harus mengerluarkan anggaran besar, karena memperpanjang masa pilkada Aceh. Di sisi lain para kandidat akan kebakaran jenggot dan kelelahan dalam menghadapi dinamika pilkada yang fluktuasi. Khususnya Irwandi Yusuf yang merespon keras lahirnya kesepakatan tersebut.

Jika usaha Perpu yang diperjuangkan PA tidak berhasil. Langkah lainnya pihak Kemendagri berkonsultasi dengan presiden untuk mengeluarkan kebijakan lain selain Perpu. Tentunya isinya kebijakan penundaan. Bagaimana kalau PA tetap tidak terlibat pada pilkad?. Jika komunikasi politik Irwandi Yusuf  lebih kuat daripada PA.

Maka akan mengubur impian PA masuk kegelanggang pilkada. Semua orang sudah bisa menebak akan terjadi disharmonis antara eksekutif dalam bentuk komunikasi dan kebijakan. Jika kandidat Irwandi Yusuf (incumbent) menang kembali. Tapi jika bukan incumbent melainkan Muhammad Nazar yang menang.

Maka kemungkinan disharmonis bisa diminimalisir, walaupun tetap ada gejolak itu namun tidak signifikan mempengaruhi hubungan keduanya.  Dengan catatan Nazar mampu membangun komunikasi politik yang selaras dan harmonis dengan PA. Secara PA adalah partai yang mengusasi parlemen saat ini.

Realitasnya Nazar di dukung Demokrat dan PPP. Sedangkan kedua partai nasional itu sudah mengingkari perjanjian yang mendukung penundaan. Jelas potensi besar membangun friksi kuat di internal parlemen dan eksternal hubungan eksekutif dan legislatif. Bisa berubah apabila sosok Nazar mampu melebur dengan orang Partai Aceh sekaligus dapat diterima sepenuhnya. Terlepas meleburnya dan diterima karena deal kepentingan yang sejalan.

Secara hitung-hitungan PA masih memiliki kekuatan politik yang mampu mempengaruhi perpolitikan di Aceh. Bentuk kekuatan politiknya menentukan pembuatan anggaran bagi eksekutif, membuat kebijakan regulasi, dan melakukan monitoring maupun evaluasi terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Mereka juga memiliki massa yang loyal dan strategi yang cenderung tidak mampu difahami lawan politiknya. Potensi kekuatan ini jangan dianggap sebelah mata bagi lawan politiknya maupun Pemerintah Pusat, bilamana tidak memenuhi keinginan mereka.

Hal yang terlupakan dari gerak politik PA yakni terkonsentrasi hanya urusan politik semata saja. Balutan memperjuangkan kepentingan partai. Sehingga tugas dan fungsi esensial menyerap aspirasi dan merealisasikan kebutuhan dasar mereka terlupakan. Takutnya memperjuangkan kepentingan politik dianggap kepentingan mendasar konstituennya juga.

Mari kita lihat gerakan selanjutnya PA. Diam dan menerima atau tetap memperjuangkan apa yang menjadi kebenaran bagi mereka. Kalau tidak berhasil PA harus menerima dan menjalankan hubungan politik dengan kandidat yang menang nantinya. PA harus mampu menunjukan sikap kesatrianya dan komitmen.

* Penulis adalah Pengamat Politik Keamanan Aceh.

 
Design by Adly Jay Lanie