Oleh: Aryos Nivada [Warga Banda Aceh] | The Global Journal
Susah memang merasionalitaskan politik di Aceh. Fluktuasi gerakan politik Aceh ibarat mesin pencatat denyut jantung. Naik-turun menjadi pusat perhatian. Tidak tanggung-tanggung Mahkamah Konstitusi (MK) terikut arus politik Aceh. Bermula mengakomondir gugatan warga Aceh terhadap jalur perorangan. Dilanjutkan putusan sela dan terakhir putusan akhir melanjutkan tahapan pilkada. Harus diakui menuai pro dan kontra terhadap putusan yang dikeluarkan MK.
Membaca putusan MK menunjukan masih melekatnya peran kuat dari Pusat dalam mengontol stabilitas politik lokal Aceh. Hal ini disebabkan Aceh bagian dari hot area spot dari pantauan internasional. Otomatis membuat Pusat memberikan perhatian lebih daripada provinsi lain, walaupun ada beberapa provinsi lain yang memiliki hot spot area pantuan dunia internasional seperti Papua dan Poso.
Terlibatnya Pusat melalui institusi MK agak terlambat. Keterlambatan ini bisa dipahami bentuk kebijakan Pusat untuk memberikan ruang kemandirian bagi Aceh menyelesaikan masalahnya sendiri. Tetap kontrol dan hubungan hirarki tunduk terhadap Pemerintah Pusat. Namun ruang dan kesempatan bagi daerah agar mandiri tidak dimaknai sebagai momentum. Sehingga daerah mampu lepas dari jeratan campur tangan Pemerintah Pusat. Maksudnya mampu mengelola konflik politik dan menyelesaikan dengan sendirinya. Jangan sampai menjadi budaya bahwa kita tidak bisa mandiri, khususnya penyelesaian konflik sesama kita sendiri.
Faktanya, para elit politik menarik kembali Pemerintah Pusat ke ranah kelokalan Aceh. Faktor utama menarik kembali Pemerintah Pusat, dikarenakan terkikisnya trus (kepercayaan) sesama elit. Kalau sudah begitu komunikasi politik akan cenderung selalu mandek. Ibarat selang yang tersumbat tanpa saluran pembuangan. Akibat dari perseteruan para elit politik yang tidak percaya bisa mandiri menyelesaikan masalah, dimana membuat konstelasi politik Aceh bermuara kepada putusan final MK.
Mari memahami karakter konstelasi politik yang akan terjadi Aceh pasca putusan MK. Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah merespon akan menindaklanjut keputusan MK. Pertanyaannya apakah Hasbi mengatakan hal itu sebagai representatif jabatan di struktur Pemerintah Indonesia. Secara komunikasi politik merupakan sebuah kewajaran. Akan tetapi memiliki kosenkuensi multitafsir mengartikulasikan pernyataan tersebut. Bagi saya menilai posisinya jelas sebagai pejabat negara. Memang magnet politiknya mengikutsertakan Partai Aceh, karena Hasbi juga representatif Partai Aceh.
Langkah eksekutif harus ditunjukan dengan keputusan tegas hasil kesepakatan seluruh angggota parlemen Aceh. Saya rasa bagian tersulit bagi seluruh anggota parlemen di DPRA menjalan putusan MK. Dimana kita ketahui semua PA memiliki power yang dominan.
Pertanyaan seriusnya apakah PA mau menjalankan secara bertanggung jawab hasil keputusan MK? Atau ada langkah lain yang akan ditempuh dalam mengupayakan keputusan MK tidak terimplementasi dalam perpolitikan Aceh. Ataukah, ketika PA tidak menjalankan amar putusan MK dikatagorikan melanggar konstitusi yang sudah diputuskan MK? Potensi besarnya hubungan komunikasi PA dengan eksekutif akan kembali memanas sama seperti pemerintah sebelumnya.
Ada pandangan yang mengatakan karakter politik Aceh berpeluang memicu konflik horizontal pasca putusan MK. Secara kalkulasi hitungan politik saya kecil peluangnya. Indikatornya ruang gerak pemicu sudah di eleminir dan dibendung dengan kesiapan dari aparat penegakan keamanan baik polisi (Polda Aceh) dan unsur TNI. Kalau mengatakan adanya peluang pasti ada.
Di tambah lagi masyarakat Aceh tidak terbawa arus perseteruan politik elit, kalau pun ada masyarakat Aceh yang terlibat terparsialkan pada 1 (satu) atau beberapa daerah di Aceh saja. Tidak secara holistik muncul gerakan konflik horizonal sesama masyarakat Aceh pro dan kontra.
Kalau pun ada gejolak demo menentang putusan MK hanya bagian kecil. Pengaruhnya tidak signifikan membuat dampak merubah konstelasi politik Aceh. Aksi-aksi melancarkan gerakan penentangan cenderung terinfiltrasi atas peranan dari elit atau aktor politik yang menentang akan amar putusan MK. Kalau tindakan ini dilakukan menurut hemat saya akan menghabiskan energi saja. Ujung-ujungnya proses pembangunan akan tersendat, karena asik mengurus protes penenantangan saja.
Dari sisi kerja-kerja untuk rakyat pun sudah mulai terlupakan. Para anggota dewan terjebak dengan urusan-urusan kepentingan politik. Efeknya urusan rakyat tersandera diatas kepentingan elit. Tentunya realisasi antara memperjuangan kebutuhan rakyat atau konsistuennya tidak berbanding lurus, malahan berbanding terbalik.
Lalu pasca putusan MK memunculkan pandangan yang mengatakan MOU dijadikan landasan hukum (konsideransi yuridis) dalam mentelaah kelayakan dalam putusan. Berdasarkan bacaan saya atas putusan MK setebal 43 halaman rujukan dalam memutuskan yaitu UUD 45, UU 11 tahun 2006, Qanun No.7 tahun 2006 dan UU 32 tahun 2004.
Point ke empat putusan MK jangan dimaknai MoU dijadikan alat ukur konsideransi analisis memutuskan gugatan yang di Ajukan warga Aceh T. A Khalid dan Fadhullah. Saya tidak sepakat, ketika MoU di sejajarkan dengan UUD 45, karena MoU bukan produk hukum hanya sebatas perjanjian yang mengikat saja. MK hanya ingin mengatakan itu pun tidak melanggar MoU, jadi jangan ditafsirkan sebagai rujukan putusan hukum. Mentafsirkan berbeda apakah bagian kecewaan serta mencari celah melawan amar putusan MK?
Memang pasca MK mengeluarkan fatwanya ada pihak yang dirugikan yakni Partai Aceh. Sekali lagi saya ingin katakan kepada Pemerintah Pusat jangan menganggap remeh kekuatan politik dari PA. Untuk itu Pemerintah Pusat harus berpikir mencari solusi agar meredam sekaligus memecahkan masalah penolakan yang kuat di kalangana PA.
Sekali lagi PA sebagai kekuatan dominasi harus dicarikan solusi mengatasi kebuntuhan keinginan PA. Jikalau tidak dilaksanakan, menurut saya ada skenario besar ingin menurunkan kekuatan partai lokal untuk tidak berkembang pada pemilu 2014.
Upaya mengembalikan posisi tawar partai nasional yang dilakukan Pemerintah Pusat. Selanjutnya mengarah keabu-abuan pasca amar putusan MK, apa langkah yang ditempuh PA berikutnya.
Model penyelesaiannya bagi pihak yang tidak diakomondir atas putusan MK. Kongkritnya menerapkan prinsip win-win solution yang harus dijalankan pihak Pemerintah Pusat. Bisa jadi petinggi PA diberikan kedudukan menteri dan staf ahli di Menkopolhukam. Atau pun tawaran dalam bentuk konsesus lainnya yang bisa mencairkan situasi politik Aceh, sehingga konstelasi tidak fluktuasi naik turun akan tetapi relatif stabil.
Mengakhir tulisan ini saya ingin mengatakan jangan sampai kita tanpa sadar menyuburkan karakter sifat ingin selalu berkonflik. Mari jadikan diri kita yang suka kebersamaan dengan berkomunikasi mencapai kata sepakat sebagai pemecah masalah politik.
Bila Aceh ingin aman dan damai untuk anak cucu maka lakukanlah penyelesaian politik dengan semangat menjaga perdamaian. Aceh bukan milik kelompok atau personal orang, tapi Aceh memiliki seluruh kelompok, etnis, dan personal orang tanpa terkecuali. Maka berpikirlah menjaga keselarasan di antara kelompok maupun etnis.
Membaca putusan MK menunjukan masih melekatnya peran kuat dari Pusat dalam mengontol stabilitas politik lokal Aceh. Hal ini disebabkan Aceh bagian dari hot area spot dari pantauan internasional. Otomatis membuat Pusat memberikan perhatian lebih daripada provinsi lain, walaupun ada beberapa provinsi lain yang memiliki hot spot area pantuan dunia internasional seperti Papua dan Poso.
Terlibatnya Pusat melalui institusi MK agak terlambat. Keterlambatan ini bisa dipahami bentuk kebijakan Pusat untuk memberikan ruang kemandirian bagi Aceh menyelesaikan masalahnya sendiri. Tetap kontrol dan hubungan hirarki tunduk terhadap Pemerintah Pusat. Namun ruang dan kesempatan bagi daerah agar mandiri tidak dimaknai sebagai momentum. Sehingga daerah mampu lepas dari jeratan campur tangan Pemerintah Pusat. Maksudnya mampu mengelola konflik politik dan menyelesaikan dengan sendirinya. Jangan sampai menjadi budaya bahwa kita tidak bisa mandiri, khususnya penyelesaian konflik sesama kita sendiri.
Faktanya, para elit politik menarik kembali Pemerintah Pusat ke ranah kelokalan Aceh. Faktor utama menarik kembali Pemerintah Pusat, dikarenakan terkikisnya trus (kepercayaan) sesama elit. Kalau sudah begitu komunikasi politik akan cenderung selalu mandek. Ibarat selang yang tersumbat tanpa saluran pembuangan. Akibat dari perseteruan para elit politik yang tidak percaya bisa mandiri menyelesaikan masalah, dimana membuat konstelasi politik Aceh bermuara kepada putusan final MK.
Mari memahami karakter konstelasi politik yang akan terjadi Aceh pasca putusan MK. Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah merespon akan menindaklanjut keputusan MK. Pertanyaannya apakah Hasbi mengatakan hal itu sebagai representatif jabatan di struktur Pemerintah Indonesia. Secara komunikasi politik merupakan sebuah kewajaran. Akan tetapi memiliki kosenkuensi multitafsir mengartikulasikan pernyataan tersebut. Bagi saya menilai posisinya jelas sebagai pejabat negara. Memang magnet politiknya mengikutsertakan Partai Aceh, karena Hasbi juga representatif Partai Aceh.
Langkah eksekutif harus ditunjukan dengan keputusan tegas hasil kesepakatan seluruh angggota parlemen Aceh. Saya rasa bagian tersulit bagi seluruh anggota parlemen di DPRA menjalan putusan MK. Dimana kita ketahui semua PA memiliki power yang dominan.
Pertanyaan seriusnya apakah PA mau menjalankan secara bertanggung jawab hasil keputusan MK? Atau ada langkah lain yang akan ditempuh dalam mengupayakan keputusan MK tidak terimplementasi dalam perpolitikan Aceh. Ataukah, ketika PA tidak menjalankan amar putusan MK dikatagorikan melanggar konstitusi yang sudah diputuskan MK? Potensi besarnya hubungan komunikasi PA dengan eksekutif akan kembali memanas sama seperti pemerintah sebelumnya.
Ada pandangan yang mengatakan karakter politik Aceh berpeluang memicu konflik horizontal pasca putusan MK. Secara kalkulasi hitungan politik saya kecil peluangnya. Indikatornya ruang gerak pemicu sudah di eleminir dan dibendung dengan kesiapan dari aparat penegakan keamanan baik polisi (Polda Aceh) dan unsur TNI. Kalau mengatakan adanya peluang pasti ada.
Di tambah lagi masyarakat Aceh tidak terbawa arus perseteruan politik elit, kalau pun ada masyarakat Aceh yang terlibat terparsialkan pada 1 (satu) atau beberapa daerah di Aceh saja. Tidak secara holistik muncul gerakan konflik horizonal sesama masyarakat Aceh pro dan kontra.
Kalau pun ada gejolak demo menentang putusan MK hanya bagian kecil. Pengaruhnya tidak signifikan membuat dampak merubah konstelasi politik Aceh. Aksi-aksi melancarkan gerakan penentangan cenderung terinfiltrasi atas peranan dari elit atau aktor politik yang menentang akan amar putusan MK. Kalau tindakan ini dilakukan menurut hemat saya akan menghabiskan energi saja. Ujung-ujungnya proses pembangunan akan tersendat, karena asik mengurus protes penenantangan saja.
Dari sisi kerja-kerja untuk rakyat pun sudah mulai terlupakan. Para anggota dewan terjebak dengan urusan-urusan kepentingan politik. Efeknya urusan rakyat tersandera diatas kepentingan elit. Tentunya realisasi antara memperjuangan kebutuhan rakyat atau konsistuennya tidak berbanding lurus, malahan berbanding terbalik.
Lalu pasca putusan MK memunculkan pandangan yang mengatakan MOU dijadikan landasan hukum (konsideransi yuridis) dalam mentelaah kelayakan dalam putusan. Berdasarkan bacaan saya atas putusan MK setebal 43 halaman rujukan dalam memutuskan yaitu UUD 45, UU 11 tahun 2006, Qanun No.7 tahun 2006 dan UU 32 tahun 2004.
Point ke empat putusan MK jangan dimaknai MoU dijadikan alat ukur konsideransi analisis memutuskan gugatan yang di Ajukan warga Aceh T. A Khalid dan Fadhullah. Saya tidak sepakat, ketika MoU di sejajarkan dengan UUD 45, karena MoU bukan produk hukum hanya sebatas perjanjian yang mengikat saja. MK hanya ingin mengatakan itu pun tidak melanggar MoU, jadi jangan ditafsirkan sebagai rujukan putusan hukum. Mentafsirkan berbeda apakah bagian kecewaan serta mencari celah melawan amar putusan MK?
Memang pasca MK mengeluarkan fatwanya ada pihak yang dirugikan yakni Partai Aceh. Sekali lagi saya ingin katakan kepada Pemerintah Pusat jangan menganggap remeh kekuatan politik dari PA. Untuk itu Pemerintah Pusat harus berpikir mencari solusi agar meredam sekaligus memecahkan masalah penolakan yang kuat di kalangana PA.
Sekali lagi PA sebagai kekuatan dominasi harus dicarikan solusi mengatasi kebuntuhan keinginan PA. Jikalau tidak dilaksanakan, menurut saya ada skenario besar ingin menurunkan kekuatan partai lokal untuk tidak berkembang pada pemilu 2014.
Upaya mengembalikan posisi tawar partai nasional yang dilakukan Pemerintah Pusat. Selanjutnya mengarah keabu-abuan pasca amar putusan MK, apa langkah yang ditempuh PA berikutnya.
Model penyelesaiannya bagi pihak yang tidak diakomondir atas putusan MK. Kongkritnya menerapkan prinsip win-win solution yang harus dijalankan pihak Pemerintah Pusat. Bisa jadi petinggi PA diberikan kedudukan menteri dan staf ahli di Menkopolhukam. Atau pun tawaran dalam bentuk konsesus lainnya yang bisa mencairkan situasi politik Aceh, sehingga konstelasi tidak fluktuasi naik turun akan tetapi relatif stabil.
Mengakhir tulisan ini saya ingin mengatakan jangan sampai kita tanpa sadar menyuburkan karakter sifat ingin selalu berkonflik. Mari jadikan diri kita yang suka kebersamaan dengan berkomunikasi mencapai kata sepakat sebagai pemecah masalah politik.
Bila Aceh ingin aman dan damai untuk anak cucu maka lakukanlah penyelesaian politik dengan semangat menjaga perdamaian. Aceh bukan milik kelompok atau personal orang, tapi Aceh memiliki seluruh kelompok, etnis, dan personal orang tanpa terkecuali. Maka berpikirlah menjaga keselarasan di antara kelompok maupun etnis.
Sumber: theglobejournal.com