oleh: Khairil Miswar
DALAM suatu ceramah di sebuah desa di Aceh penulis sempat terkejut ketika mendengar sang penceramah membuat pernyataan aneh dan melecehkan sunnah Nabi Saw. Penceramah tersebut menyatakan bahwa orang – orang yang berjenggot adalah Yahudi. Entah apa yang menyebabkan penceramah tersebut terlalu ekstrim terhadap jenggot. Anehnya penceramah tersebut merupakan orang yang dihormati oleh masyarakat disekitarnya. Beliau juga dianggap sebagai seorang `alim di daerahnya.
Di kesempatan lain penulis juga sempat mendengar pernyataan seorang imam mesjid disebuah kampung yang kebetulan berdekatan dengan penulis. Imam tersebut mengatakan bahwa orang – orang yang memelihara jenggot sama dengan kameng bhok (kambing jantan). Di kesempatan lain lagi penulis juga menangkap pernyataan seorang imam desa yang mengatakan bahwa memelihara jenggot bukan lagi sunnah Nabi Saw karena kaum Yahudi juga sudah memelihara jenggot. Menurut beliau, kita tidak boleh melakukan hal yang menyerupai Yahudi. Karena Yahudi sudah memelihara jenggot maka kita tidak perlu lagi memelihara jenggot, demikian ucapan yang imam tersebut. Aneh memang, tapi kejadian ini nyata.
Seiring dengan kampanye “terorisme” yang digaungkan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, tiba-tiba di kalangan aparat dan beberapa kelompok Islam, ikut ‘terprovokasi’ dengan menjadikan urusan jenggot dengan “teror”. Alih-alih mencari pembenaran, beberapa orang –sebagian bahkan tokoh agama—menjadikan istilah “Wahabi”, “Salafy” seorang identik dengan gerakan radikal atau teror.
Yang berjenggot “Wahabi”?
Penulis juga sering mendapati stigma buruk yang dilontarkan sebagaian kalangan “anti sunnah” dengan mengatakan bahwa orang yang memanjangkan jenggot adalah Wahabi (gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Bin Abdil Wahab).
Sungguh dangkal pikiran mereka sehingga menuduh orang yang berjenggot sebagai Wahabi? Lagi pula apa hubungannya antara jenggot dan Wahabi? Tanpa harus belajar agama atau sekolah di Timur Tengah, banyak para seniman dan penyanyi rock juga berjenggot. Seorang dukun seperti Ki Joko Bodo atau pentolan Band DEWA, Ahmad Dhani saja berjenggot. Namun belum tentu mau mereka dikaitkan gerakan radikal atau Wahabi.
Sebaliknya, belum tentu juga ia memanjangkan jenggot karena alasan dalil agama dan sunnah Nabi.
Anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa kita tidak boleh lagi berjenggot karena orang Yahudi sudah berjenggot adalah anggapan yang sama sekali tidak berdasar.
Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menyelisihi Yahudi dalam segala hal. Adapun sekarang pada saat Yahudi memelihara jenggot bukan berarti kita tidak boleh lagi memelihara jenggot karena takut menyamai Yahudi. Anggapan ini jelas salah besar dan merupakan syubhat yang nyata dalam agama.
Kita tidak boleh meninggalkan sunnah Nabi Saw hanya karena amalan tersebut sudah dilakukan oleh seorang atau segelintir Yahudi. Sama pula dengan kaum Yahudi.
Seorang Muslim memanjangkan jenggot dalam rangka menjalankan sunnah Nabi Saw, berbeda dengan Yahudi yang statusnya kafir. Walaupun dia memanjangkan jenggot, hal itu bukanlah mengikuti sunnah, karena Yahudi sendiri tidak beriman dengan Nabi saw.
Jadi bagaimana mungkin Yahudi mengikuti perintah orang yang tidak ia imani (Nabi Saw)?
Jika sekarang kita mencukur jenggot karena Yahudi sudah memanjangkan jenggot maka yakinlah suatu saat satu persatu sunnah Nabi Saw akan musnah karena dianggap menyamai Yahudi.
Nah, bagaimana jika suatu saat Yahudi berpuasa di bulan Ramadhan, apa kita juga harus meninggalkan puasa dikarenakan Yahudi sudah berpuasa? Bagaimana pula jika seandainya nanti ada Yahudi yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul Saw? Apa kita juga harus meninggalkan keimanan kita kepada Allah dan Rasul dikarenakan takut menyamai si Yahudi?
Jenggot Dalam Pandangan Islam
Menurut penulis pernyataan yang dilontarakan oleh orang – orang yang anti kepada jenggot adalah pernyataan yang menyelishi sunnah Nabi Saw. Meskipun pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang yang dianggap `alim apabila bertentangan dengan sunnah Nabi Saw maka harus tetap dibantah dengan hujjah yang shahih. Agama ini dibangun dan ditegakkan dengan dalil, bukan dengan logika dan pendapat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rh, Rasul Saw bersabda: “Ahfu syawariba wa a`ful liha.” (pangkaslah kumis dan panjangkan jenggot). Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Muslim, Nabi saw bersabda: “Arkhul liha” (biarkan jenggot memanjang turun).
Dalam sebuah riwayat sahih juga disebutkan bahwa jenggot Rasulullah Saw memenuhi dadanya. Hal ini dibuktikan dengan periwayatan dari para sahabat yang mengetahui bacaan Rasul Saw dengan bergeraknya jenggot beliau.
Syeikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i, seorang ulama Salafy dalam risalah tanya jawab yang ditulisnya menyebutkan bahwa memangkas jenggot merupakan perbuatan menyerupakan diri dengan perempuan dan kuffar. Beliau juga menjelaskan bahwa yang pertama sekali membuat kebiasaan buruk ini (mencukur) jenggot ditengah – tengah kaum muslimin adalah kaum sufi sebagaimana tersebut dalam kitab “Talbis Iblis”.
Lebih jauh lagi Syeikh Muqbil menyebutkan bahwa ada sebagian orang memelihara jenggot untuk menipu maka hal ini bukanlah dosa jenggot, namun dosa penjahat tersebut. Kaum musyrik tetap saja musyrik walaupun dia memelihara jenggot. Bisa jadi orang yang mencukur jenggotnya lebih taat dan `alim daripada orang yang berjenggot, tapi orang yang memangkas jenggot tetap dihukumi fasiq karena menyelisihi perintah Nabi Saw.
Adapun bagi orang – orang yang menganggap jenggot sebagai kekurangan layaknya bulu kemaluan dan bulu ketiak maka dia dihukumi kafir murtad, demikian penjelasan Syeikh Muqbil dalam risalahnya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa para sahabat Ra, Imam Mujtahid dan ulama – ulama terdahulu semuanya memelihara jenggot dikarenakan hal tersebut merupakan sunnah Nabi Saw.
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Anas bin Mali Ra, Rasul Saw bersabda: “faman ragiba `an sunnati falaisa minni.” (barang siapa menyelisihi sunnahku maka dia bukan dari golonganku).
Hadits ini sahih diriwayatkan oleh dua Imam besar Bukhari dan Muslim. Sesungguhnya sebaik – baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw.
Pertanyaannya, jika memang benar memanjangkan jenggot itu ada kaitannya dengan Wahabi bagaimana Anda menempatkan para Nabi `alaihi shalatu wassalam, para sahabat, tabi`in, tabiut tabi`in, dan para imam mujtahid? Apakah mereka juga Wahabi karena beliau-beliau telah memanjangkan jenggotnya?
Apakah Nabi Harun As yang jenggotnya pernah ditarik oleh Musa As juga seorang Wahabi?
Apakah Imam Syafi`i yang mazhabnya dianut hampir di sepertiga benua, termasuk warga Nahdhiyyin di Indonesia juga kita sebut Wahabi?
Imam Ghazali dan Ibnu `Arabi yang menjadi panutan kaum sufi juga memanjangkan jenggot, lantas apa kita harus menyebut mereka sebagai Wahabi?
Akhirul kalam, boleh jadi, stigma-stigma Wahabi, jenggot dan lain-lain yang kini banyak digaungkan sebagai bentuk-bentuk gerakan "pecah-belah" umat. Karenanya, tak ada salahnya kita mulai berfikir jernih dan belajar ilmu agama secara lebih mendalam agar kita tidak termasuk orang-orang yang jahil. Wallahul Waliyut Taufiq.
Penulis adalah Alumni IAIN Ar- Raniry, tinggal di Bireuen, Aceh
DALAM suatu ceramah di sebuah desa di Aceh penulis sempat terkejut ketika mendengar sang penceramah membuat pernyataan aneh dan melecehkan sunnah Nabi Saw. Penceramah tersebut menyatakan bahwa orang – orang yang berjenggot adalah Yahudi. Entah apa yang menyebabkan penceramah tersebut terlalu ekstrim terhadap jenggot. Anehnya penceramah tersebut merupakan orang yang dihormati oleh masyarakat disekitarnya. Beliau juga dianggap sebagai seorang `alim di daerahnya.
Di kesempatan lain penulis juga sempat mendengar pernyataan seorang imam mesjid disebuah kampung yang kebetulan berdekatan dengan penulis. Imam tersebut mengatakan bahwa orang – orang yang memelihara jenggot sama dengan kameng bhok (kambing jantan). Di kesempatan lain lagi penulis juga menangkap pernyataan seorang imam desa yang mengatakan bahwa memelihara jenggot bukan lagi sunnah Nabi Saw karena kaum Yahudi juga sudah memelihara jenggot. Menurut beliau, kita tidak boleh melakukan hal yang menyerupai Yahudi. Karena Yahudi sudah memelihara jenggot maka kita tidak perlu lagi memelihara jenggot, demikian ucapan yang imam tersebut. Aneh memang, tapi kejadian ini nyata.
Seiring dengan kampanye “terorisme” yang digaungkan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, tiba-tiba di kalangan aparat dan beberapa kelompok Islam, ikut ‘terprovokasi’ dengan menjadikan urusan jenggot dengan “teror”. Alih-alih mencari pembenaran, beberapa orang –sebagian bahkan tokoh agama—menjadikan istilah “Wahabi”, “Salafy” seorang identik dengan gerakan radikal atau teror.
Yang berjenggot “Wahabi”?
Penulis juga sering mendapati stigma buruk yang dilontarkan sebagaian kalangan “anti sunnah” dengan mengatakan bahwa orang yang memanjangkan jenggot adalah Wahabi (gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Bin Abdil Wahab).
Sungguh dangkal pikiran mereka sehingga menuduh orang yang berjenggot sebagai Wahabi? Lagi pula apa hubungannya antara jenggot dan Wahabi? Tanpa harus belajar agama atau sekolah di Timur Tengah, banyak para seniman dan penyanyi rock juga berjenggot. Seorang dukun seperti Ki Joko Bodo atau pentolan Band DEWA, Ahmad Dhani saja berjenggot. Namun belum tentu mau mereka dikaitkan gerakan radikal atau Wahabi.
Sebaliknya, belum tentu juga ia memanjangkan jenggot karena alasan dalil agama dan sunnah Nabi.
Anggapan sebagian orang yang menyatakan bahwa kita tidak boleh lagi berjenggot karena orang Yahudi sudah berjenggot adalah anggapan yang sama sekali tidak berdasar.
Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW memerintahkan kita untuk menyelisihi Yahudi dalam segala hal. Adapun sekarang pada saat Yahudi memelihara jenggot bukan berarti kita tidak boleh lagi memelihara jenggot karena takut menyamai Yahudi. Anggapan ini jelas salah besar dan merupakan syubhat yang nyata dalam agama.
Kita tidak boleh meninggalkan sunnah Nabi Saw hanya karena amalan tersebut sudah dilakukan oleh seorang atau segelintir Yahudi. Sama pula dengan kaum Yahudi.
Seorang Muslim memanjangkan jenggot dalam rangka menjalankan sunnah Nabi Saw, berbeda dengan Yahudi yang statusnya kafir. Walaupun dia memanjangkan jenggot, hal itu bukanlah mengikuti sunnah, karena Yahudi sendiri tidak beriman dengan Nabi saw.
Jadi bagaimana mungkin Yahudi mengikuti perintah orang yang tidak ia imani (Nabi Saw)?
Jika sekarang kita mencukur jenggot karena Yahudi sudah memanjangkan jenggot maka yakinlah suatu saat satu persatu sunnah Nabi Saw akan musnah karena dianggap menyamai Yahudi.
Nah, bagaimana jika suatu saat Yahudi berpuasa di bulan Ramadhan, apa kita juga harus meninggalkan puasa dikarenakan Yahudi sudah berpuasa? Bagaimana pula jika seandainya nanti ada Yahudi yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul Saw? Apa kita juga harus meninggalkan keimanan kita kepada Allah dan Rasul dikarenakan takut menyamai si Yahudi?
Jenggot Dalam Pandangan Islam
Menurut penulis pernyataan yang dilontarakan oleh orang – orang yang anti kepada jenggot adalah pernyataan yang menyelishi sunnah Nabi Saw. Meskipun pernyataan tersebut keluar dari mulut seorang yang dianggap `alim apabila bertentangan dengan sunnah Nabi Saw maka harus tetap dibantah dengan hujjah yang shahih. Agama ini dibangun dan ditegakkan dengan dalil, bukan dengan logika dan pendapat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rh, Rasul Saw bersabda: “Ahfu syawariba wa a`ful liha.” (pangkaslah kumis dan panjangkan jenggot). Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan oleh Muslim, Nabi saw bersabda: “Arkhul liha” (biarkan jenggot memanjang turun).
Dalam sebuah riwayat sahih juga disebutkan bahwa jenggot Rasulullah Saw memenuhi dadanya. Hal ini dibuktikan dengan periwayatan dari para sahabat yang mengetahui bacaan Rasul Saw dengan bergeraknya jenggot beliau.
Syeikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i, seorang ulama Salafy dalam risalah tanya jawab yang ditulisnya menyebutkan bahwa memangkas jenggot merupakan perbuatan menyerupakan diri dengan perempuan dan kuffar. Beliau juga menjelaskan bahwa yang pertama sekali membuat kebiasaan buruk ini (mencukur) jenggot ditengah – tengah kaum muslimin adalah kaum sufi sebagaimana tersebut dalam kitab “Talbis Iblis”.
Lebih jauh lagi Syeikh Muqbil menyebutkan bahwa ada sebagian orang memelihara jenggot untuk menipu maka hal ini bukanlah dosa jenggot, namun dosa penjahat tersebut. Kaum musyrik tetap saja musyrik walaupun dia memelihara jenggot. Bisa jadi orang yang mencukur jenggotnya lebih taat dan `alim daripada orang yang berjenggot, tapi orang yang memangkas jenggot tetap dihukumi fasiq karena menyelisihi perintah Nabi Saw.
Adapun bagi orang – orang yang menganggap jenggot sebagai kekurangan layaknya bulu kemaluan dan bulu ketiak maka dia dihukumi kafir murtad, demikian penjelasan Syeikh Muqbil dalam risalahnya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa para sahabat Ra, Imam Mujtahid dan ulama – ulama terdahulu semuanya memelihara jenggot dikarenakan hal tersebut merupakan sunnah Nabi Saw.
Dalam sebuah hadits yang bersumber dari Anas bin Mali Ra, Rasul Saw bersabda: “faman ragiba `an sunnati falaisa minni.” (barang siapa menyelisihi sunnahku maka dia bukan dari golonganku).
Hadits ini sahih diriwayatkan oleh dua Imam besar Bukhari dan Muslim. Sesungguhnya sebaik – baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik – baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw.
Pertanyaannya, jika memang benar memanjangkan jenggot itu ada kaitannya dengan Wahabi bagaimana Anda menempatkan para Nabi `alaihi shalatu wassalam, para sahabat, tabi`in, tabiut tabi`in, dan para imam mujtahid? Apakah mereka juga Wahabi karena beliau-beliau telah memanjangkan jenggotnya?
Apakah Nabi Harun As yang jenggotnya pernah ditarik oleh Musa As juga seorang Wahabi?
Apakah Imam Syafi`i yang mazhabnya dianut hampir di sepertiga benua, termasuk warga Nahdhiyyin di Indonesia juga kita sebut Wahabi?
Imam Ghazali dan Ibnu `Arabi yang menjadi panutan kaum sufi juga memanjangkan jenggot, lantas apa kita harus menyebut mereka sebagai Wahabi?
Akhirul kalam, boleh jadi, stigma-stigma Wahabi, jenggot dan lain-lain yang kini banyak digaungkan sebagai bentuk-bentuk gerakan "pecah-belah" umat. Karenanya, tak ada salahnya kita mulai berfikir jernih dan belajar ilmu agama secara lebih mendalam agar kita tidak termasuk orang-orang yang jahil. Wallahul Waliyut Taufiq.
Penulis adalah Alumni IAIN Ar- Raniry, tinggal di Bireuen, Aceh
Sumber: hidayatullah.com